TEORI KDRT
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidyahNya kepada kita semua
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pada waktunya. Walaupun hasilnya
masih jauh dari apa yang menjadi harapan dosen namun sebagai awal pembelajaran
dan agar menambah semangat dalam mencari pengetahuan yang luas bukan sebuah
kesalahan jika kami mengucapkan kata syukur.
Terimakasih saya ucapkan kepada
dosen Patologi Sosial yang telah memberikan arahan terkait penyusunan makalah
ini. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin kami tidak akan dapat menyelesaikan
tugas ini sesuai dengan format yang berlaku. Kesalahan yang terdapat di dalam
jelas ada. Namun bukanlah kesalahan yang tersengaja melainkan karena khilafan
dan kelupaan. Dari kesemua kelemahan kami kiranya dapat dimaklumi.
Demikian, harapan saya semoga hasil
pengkajian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan menambah referensi yang
baru sekaligus ilmu pengetahuan yang baru pula
Pontianak, 2
Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar........................................................................................................... i
Daftar isi.................................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan.....................................................................................................
A. Latar
belakang......................................................................................................
B. Rumusan
masalah.................................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................................
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................................
A. Pengertian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga......................................................
B. Faktor
Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga............................................
C. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...........................................................
D. Dampak kekerasan dalam rumah tangga...............................................................
E. Pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga.........................................................
Bab III Pembahasan
A. Pengendalian Sosial Perilaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga..........................
B. Teori yang Menjelaskan Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................
Bab IV Penutup.........................................................................................................
A. Simpulan...............................................................................................................
B. Saran......................................................................................................................
Daftar pustaka............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada dasarnya, setiap keluarga ingin
membangun keluarga bahagia dan penuh rasa saling mencintai secara lahir ataupun
batin. Akan tetapi, kenyataannya, tidak semua keluarga dapat berjalan mulus
dalam mengarungi hidupnya karena adanya rasa ketidaknyamanan, tertekan, atau
kesedihan dan perasaan saling takut dan benci diantara sesamanya. Hal ini diindikasikan
dengan masih dijumpai sejumlah rumah tangga yang bermasalah, bahkan terjadi
berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan rumah tangga merupakan fenomena
sosial yang telah berlangsung lama dalam sebagian rumah tangga didunia dan
merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus. Korban
kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan yang harus
mendapatkan perlindungan negara dan masyarakat agar terhindar dari kekerasan
atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengendalian sosial perilaku
kekerasan dalam rumah tangga?
2. Teori apa saja yang menjelaskan mengenai KDRT?
1.3 TUJUAN
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang, terutama yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikolgis, dan / atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang
termasuk cakupan rumah tangga adalah : (1) Suami, istri, dan anak (termasuk anak
angkat dan anak tiri): (2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena
hubungan darah perkawinan (misalnya mertua menantu, ipar dan besan), persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. (3) Orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka
waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Ada pula yang berpedapat bahwa kekerasan
rumah tangga adalah bentuk kekerasan yang terjadi di lingkup rumah tangga yang
di dalamnya terdapat hubungan antara pelaku dan korban dalam ikatan rumah
tangga atau perkawinan dan tidak dalam hubungan pekerjaan.
Berdasarkan dua defenisi tersebut, jelas
bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah dalam posisi hubungan ketidakadilan
gender, bukan karena faktor perbedaan biologis antara laki-laki (suami) dan
perempuan (istri).
Kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan dalam
UU No.23 tahun 2004 Pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang,terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam lingkup rumah tangga dalam
Pasal 2 ayat (1) UU ini meliputi suami, istri, dan anak. Akan tetapi, yang
menarik perhatian publik adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri),
apalagi jika kekerasan tersebut terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan ini sering disebut hidden
crime (kejahatan yang tersembunyi) karena pelaku ataupun korban berusaha
untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik ( Moerti Hadiarti
Soeroso, 2010:1).
Jadi, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memiliki konstribusi
positif dalam penegakan hukum kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Dengan
adanya Undang-undang ini, korban kekerasan dalam rumah tangga terlindungi dan
memperoleh kepastian hukum dalam mencari keadilan. Jika kekerasan dalam rumah
tangga diposisikan sebagai kasus perdata yang menjadi urusan privat
masing-masing individu, sekarang telah menjadi kasus idana sehingga menjadi
urusan pubik (La Jamaa dan Hadidjah, 2008: 45).
B. Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT)
Beragam argumentasi yang berkembang pada para
ahli berkaitan dengan terjadnya sumber kekerasan terhadap istri. Menurut Achmad
Chusairi (1997:54), kekerasan terhadap istri pada rumah tangga disebabkan oleh
berapa hal. Pertama, adanya dominasi sumber ekonomi keluarga, memiliki pesoalan
psikis berkaitan dengan trauma masa kecil, dan tinggal dalam lingkungan dengan
penuh kekerasan.
Kedua, suami yang memiliki persoalan psikis,
baik tekanan pekerjaa maupun persoalan pribadi di luar rumah. Persoalan psikis
itu mengakibatkan stres yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap istri.
Suami yang melakukan kekerasan terhadap istri umumnya pernah menerima perlakuan
kekerasan pada masa kecilnya, baik oleh orang tuanya maupun lingkungannya.
Trauma masa kecil itu diulang kepada istrinya sebagai semacam dendam atas
pengalaman yang menyakitkan.
Kekerasan terhadap perempuan maupun masalah
universal yang melewati batas-batas negara dan budaya. Studi yang dilakukan
pada 90 komunitas yang berada di dunia menunjukkan pola tertentu dalam insiden
kekerasan terhadap perempuan, khususnya istri. Menurut studi tersebut terdapat
empat faktor terjadinya kekerasan, diantaranya:
1.
Ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki
2.
Penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar suatu konflik
3.
Otoritas (kekuasaan) dan kontrol lai-laki dalam pengambilan keputusan
4.
Hambatan bagi perempuan untuk meninggalkan setting keluarga
Saparinah Sadeli (2000:4) menggolongkan
fakto-faktor yang menimbulkan dominasi suami terhadap istri menjadi dua faktor,
yaotu faktor eksternal dan faktor internal. Kedua faktot tersebut apat
disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat faktor yang menyebabkan dominasi
suami terhadap istri, yaitu:
1.
Fakta bahwa laki-laki daan perempuan tidaak diposisikan setara dalam
masyarakat.
2.
Masyarakat masih membenarkan anak laki-laki dengan didikan yang bertumpu
pada kekuatan fisik untuk menumbuhkan keyakinan mereka harus kuat, berani, dan
tidak toleran.
3.
Budaya yang mengondisikan perempuan atau istri bergantung pada laki-laki
atau suami, khusunya secara ekonomi.
4.
Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yag dianggap
harus ditutup karena termasuk privasi suami istri, bukan merupakan permasalahan
sosial.
5.
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada
posisi suami, aturan mendidik istri, dan ajaran kepatuhan istri terhadap suami.
6.
Kondisi kepribadian dan psikologs suami yang tidak stabil (labil).
Menurut LKBHUWK, sebuah lembaga
bantuan hukum untuk perempuan dan keluarga, penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan
yang menyebabkan ia mudah melakukan tindak kekerasan saat menghadapi situasi
yang menimbulkan kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif umumnya
dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau lingukungan sosial pada masa
kanak-kanak ( Moerti Hadiarti Soeroso , 2010: 76 ).
Faktor internal dalam rumah tangga disebabkan
persoalan kurangnya komunikasi antara suami dan istri sehingga menimbulkan
sikap saling tidak jujur, tidak terbuka, dan lain-lain yang mengakibatkan
timbulnya rasa sakit hati, emosi, dendam yang berakhir dengan kekerasan.
Disinilah pentingnya komunikasi antara suami dan istri sebagai jalan dalam menyatukan perbedaan persepsi
antara keduanya. Dengan komunikasi, suami dan istri dapat berbagi harapan,
keinginan, dan tuntutan masing-masing. Iklim komunikasi yang baik memungkinkan
suami menjadi tempat terbaik bagi istrinya.
Adapun faktor eksternal adalah faktor-faktor
diluar diri pelaku kekerasan. Orang-orang yang tidak memiliki tingkah laku
agresif dapat melakukan tindakan kekerasan apabila berhadapan dengan situasi
yang menimbulkan frustasi, misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan,
penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau
penyalahgunaan obat terlarang, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini, seperti
stereotif bahwa laki-laki adalah tokoh yang dominan, tegar, dan agresif,
sedangkan perempuan harus bertindak pasif, lembah lembut, dan mengalah. Hal ini
yang menyebabkan banyaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Kebanyakan istri berusaha menyembunyikan masalah kekerasan dalam keluarganya
karena merasa malu pada lingkungan sosial dan tidak ingin dianggap gagal dalam
berumah tangga.
C. Bentuk
kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT
dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangga dangan cara berikut:
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU PKDRT).
Bentuk- bentuk kekerasan fisik yang dialami perempuan atau korban mencakup
antara lain : tamparan, pemukulan, penjambakan, penginjak-injakan, penyiksaan
menggunakan benda tajam dan pembakaran (Ridwan, 2006 : 85).
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderita psikis berat pada seseorang
(Pasal 7 UU PKDRT)
3. Kekerasan seksual (Pasal 8 UU PKDRT).
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (1) Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut; (2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tuuan komersial dan/ atau
tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga (Pasal 9 UU
PKDRT): (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut; (2) Penelantaran yang dimaksud sebelumnya juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/ atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bentuk lainnya dari kekerasan dalam keluarga
adalah sebagai berikut:
1. Semua bentuk kekerasan dalam keluarga
menyangkut penyalahgunaan kekuatan.
2. Adanya tingkat kekerasan, dari yang ringan
sampai sangat berat atau fatal.
3. Kekerasan yang dilakukan berkali-kali.
Jika kendali untuk berbuat kekerasan melemah atau menghilang, kekerasan akan
terus berlangsung dan bertambah berat. Sasarannya pun bertambah meluas.
4. Kekersan dalam keluarga umumnya
berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis. Penghinaan
verbal berupa ejekan atau sumpah serapah kerap mengawali terjadinya kekerasan
fisik.
5. Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak
negatif terhadap samua anggota keluarga atau rumah tangga, baik yang terlibat
dalam kekerasan maupun yang tidak. Setiap orang dalam keluarga ini merasa tidak
tentram. Masalah ini merupakan unsur yang sangat merusak kehidupan keluarga.
Beberapa konsekuensi masalah ini adalah rasa takut, saling tidak percaya,
kesenjangan emosional dan fisik, hambatan komunikasi dan ketidaksepakatan.
D. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Dampak kekerasan yang dialami oleh istri
dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan, seperti kecemasan, murung, stres,
minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri, dan
sebagainya. Akibat secara fisik, misalnya memar, patah tulang, cacat fisik,
gangguan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular,
penyakit psikomatis, bahkan kematian.
Dampak psikologis lainnya adalah jatuhnya
harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat dirinya negatif dan banyak
menyalahkan diri) ataupun depresi dan bentuk gangguan lain dan bertumpuknya
tekanan, kekecewaan, dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.
Penderitaan akibat penyalahgunaan dalam rumah
tangga tidak hanya terbatas pada istri, tetapi juga menimpa pada anak-anak.
Anak-anak dapat mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan
penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami Ibunya, paling tidak
setengah dari anak-anak yang hidup dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi
kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam
secara fisik, sebagian lagi secara emosional ataupun seksual.
Menurut data yang terkumpul dari seluruh
dunia, anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh Ayahnya setelah bertahun-tahun
tidak bisa membantu Ibunya yang diperlakukan kejam. Selain terjadi dampak pada
istri, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat juga dialami oleh anak.
Ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah:
1. Sering gugup.
2. Suka menyendiri.
3. Cemas.
4. Sering ngompol.
5. Gelisah.
6. Gagap.
7. Sering menderita gangguan perut.
8. Sakit kepala dan asma.
9. Kejam pada binatang.
10. Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku
kejam.
11. Suka memukul teman.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelajaran pada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian
yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi
tekanan adalah melakukan kekerasan. KDRT memberikan pelajaran pada anak
laki-laki untuk tidak menghormati kaum perempuan.
E. Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT)
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga, beberapa hal yang perlu dilakukan untuk masyarakat adalah: (1) Pendidikan
mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; (2) Penyebaran informasi dan
mempromosikan prinsip hidup sehat, anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak
serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; (3) Penyuluhan
untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan gender; (4) Promosikan sikap
tidak menyalahkan korban media.
Untuk pelaku dan korban kekerasan sebaiknya mencari bantuan
psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bahwasanya KDRT membawa akibat
negatif yang berkemungkinan memengaruhi perkembangan korban pada masa
mendatang. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan
berbagi strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya
yang merugikan. Ada beberapa solusi utuk mencegah KDRT, yaitu sebagai berikut:
1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT
adalah persoalan sosial, bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang
terkait dengan HAM.
2. Sosialisasi pada masyarakat tentang KDRT
adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sanksi.
3. Konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan
yang tidak dapat diterima.
4. Mengampanyekan penentangan kekerasan di
media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut
menerima penghargaan.
5. Peranan media massa, media cetak,
televisi, bioskop, radio, dan internet adalah makrosistem yang sangat
berpengaruh untuk mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
6. Mendampingi korban dalam menyelesaikan
persoalan (konseling) serta memungkinkan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban lebih terpantau
dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara
psikis.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengendalian Sosial Perilaku Kekerasa
Dalam Rumah Tangga
Menurut Joseph S. Roucek, pengendalian sosial
adalah segala proses, baik direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik,
mengajak, bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan norma-norma
sosial. Contohnya: Penyuluhan bahaya narkoba pada anak SMA, gerakan emansipasi
wanita untuk mencegah terjadinya KDRT, razia banci dan PSK oleh polisi.
Pengendalian sosial pada KDRT ini dapat
dilakukan dengan cara pengendalian sosial persuasif, maksudnya pengendalian persuasif ini adalah proses
pengendalian tanpa adanya kekerasan dan biasanya dilakukan dilingkungan yang
relatif aman, misalnya musyawarah antara kedua belah pihak yang melakukan KDRT
agar permasalahan yang dialami dapat diselesaikan. Dan juga dapat dilakukan
dengan cara pengendalian sosial represif, maksudnya pengendalian represif ini
adalah pengendalian yang bertujuan untuk mengatasi setelah terjadinya
penyimpangan sosial misalnya KDRT. Yaitu dengan cara menghukum dan memberikan
sanksi kepada pelaku KDRT. Serta dapat dilakukan dengan cara pengendalian
bersifat kuratif, yaitu upaya pengendalian sosial untuk memulihkan keadaan
seperti sedia kala, hal ini bertujuan agar korban KDRT tidak mengalami trauma
baik secara mental dan fisik dan menciptakan situasi baru.
Lembaga pengendalian sosial juga penting
dalam menangani pengendalian perilaku KDRT, seperti kepolisian, lembaga adat,
lembaga agama, dan kejaksaan. Fungsi dari lembaga tersebut adalah sebagai
lembaga penyidik, pengayom, pelindung ketika terjadi pelanggaran hukum.
B. Teori yang Menjelaskan Mengenai Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Zastrow & Browker (dalam Wahab,
2010) mengatakan bahwa terdapat 3 teori yang mampu menjelaskan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu teori biologis, teori kontrol, dan teori
frustasi-agresi.
1. Teori Biologis
Teori biologis mamandang manusia sebagai makhluk yang
sejak lahir memiliki insting agresif. Pendiri psikodinamika, Sigmund Freud,
menjelaskan bahwa manusia mempunyai insting kematian yang dimanifestasikan
dengan melukai dan membunuh diri sendiri atau orang lain. Menurut Konrad
Lorenz, kekerasan sangat bermanfaat untuk dapat bertahan hidup. Tindakan ini
membantu seseorang untuk memperoleh dominasi dalam kelompok. Beberapa ahli
biologi, berpendapat bahwa pria memiliki lebih hormon yang menyebabkan
berperilaku agresif daripada wanita. Teori ini seperti memberikan penjelasan
mengapa KDRT lebih banyak dilakukan oleh pria.
2. Teori Kontrol
Teori kontrol menerangkan bahwa orang yang tidak
terpuaskan dalam berelasi dengan orang lain akan mudah untuk melakukan
kekerasan. Dengan kata lain, orang yang memiliki relasi yang baik dengan orang
lain cenderung lebih mampu mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang
agresif. Travis Hirschi melalui temuannya mendukung teori ini. Disebutkan bahwa
remaja laki-laki yang berperilaku agresif cenderung tidak mempunyai relasi yang
baik dengan orang lain. Hal sama juga terjadi pada mantan narapidana di Amerika
yang ternyata juga terasingkan dengan teman dan keluarganya.
3. Teori Frustasi-Agresi
Teori frustasi agresi memandang kekerasan merupakan
cara seseorang mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh situasi yang membuat
frustasi. Orang yang frustasi akan melakukan agresi (kekerasan) kepada sumber
frustasi atau kepada orang lain yang bisa menjadi pelampiasan. Misalnya,
seorang suami yang kekurangan penghasilan dan memiliki harga diri rendah,
memanifestasikan rasa frustasinya kepada istri dan anak-anaknya. Teori ini
sedikit-banyak juga dapat menjalaskan kasus yang kami angkat pada paper “Menelaah Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga” yang melibatkan Amir
dan Susi sebagai pelaku dan korban KDRT.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA